Polisi menjaga Xinjiang untuk meredakan situasi.
Lebih dari seratus orang yang bersenjata tajam dan mengendarai sepeda motor menyerang sebuah kantor polisi di Xinjiang, Cina Sabtu (29/06).
Insiden ini merupakan kekerasan terbaru yang melanda kawasan Xinjiang dalam sepekan terakhir.
Serangan berlangsung di kota gurun terpencil Hotan, yang dikenal sebagai kawasan mayoritas etnis Uighur. Dua hari setelah Klik 35 orang dinyatakan tewas dalam kekerasan yang dipicu oleh konflik dua kelompok etnis yaitu komunitas Muslim Uighur dan Cina Han.
Dalam insiden terbaru, ''para perusuh'' berkumpul di tempat ibadah sebelum berarakan dengan sepeda motor menyerang sebuah kantor polisi di Moyu, demikian laporan media setempat.
Belum diketahui berapa jumlah korban yang ditimbulkan akibat insiden ini, dan polisi juga tengah mengejar pelaku serangan.
Dalam sebuah insiden terpisah, sekitar 200 orang berupaya untuk ''memicu masalah'' di kawasan perbelanjaan di Hotan.
Global Times, sebuah koran lokal melaporkan polisi berhasil meredakan situasi.
Cina menyebut insiden ini sebagai ''serangan teroris''.
Dalam sebuah pernyataan terkait kekerasan yang kembali terjadi, kepala partai utama Xinjiang Zhang Chunxian mengatakan: ''Kita jelas harus waspada atas pemusuhan lama dan kompleks serta akut terhadap separatisme.''
"Bagi mereka yang berani melawan hukum, penjahat yang terlibat dalam aktivitas kekerasan teroris akan dihukum. Kami tidak akan menoleransi mereka,'' katanya.
Otoritas Cina meningkatkan keamanan di kawasan ibukota Urumqi, menyusul kerusuhan yang kembali mengemuka dalam sepekan terakhir.
Xinjiang merupakan rumah bagi etnis Muslim Uighur yang berbicara dengan bahasa Turkic, banyak diantara mereka yang merasa kesal atas kebijakan pemerintah Cina yang dianggap membatasi kebudayaan mereka seperti kebebasan beragama atau penggunaan bahasa asli mereka.
Sementara otoritas Cina menyebut telah memberikan kebebasan bagi Uighur dan menuduh mereka yang berontak sebagai ekstremis separatisme.
Permusuhan diantara etnis Cina Han dan Muslim Uighur ini menjadi tantangan besar bagi pemimpin Partai Komunis Cina.
Presiden Cina Xi Jinping, yang berkuasa Maret lalu, telah meminta kedua etnis ini untuk bersatu.