Created on Friday, 31 May 2013 07:55 Published Date
Jakarta, GATRAnews - Film biopik alias film yang menceritakan perjalanan hidup nyata seseorang, menjadi barang yang cukup langka dibuat di Indonesia. Tercatat beberapa dibuat dengan kualitas di atas rata-rata baik secara sinematik maupun pemeran seperti misalnya Tjoet Nja` Dien (1988) atau Gie (2005). Yang juga sayang dilewatkan misalnya Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961), Soegija (2012), Sang Pencerah (2010), Tapak-tapak Kaki Wolter Monginsidi (1982), R.A Kartini (1984), hingga Habibie dan Ainun (2012), yang baru mampir di bioskop.
Gairah dan potensi untuk menghadirkan cerita hidup seseorang sebenarnya ada dalam diri para pembuat film Indonesia. 2013 menjadi momen sutradara Rako Prijanto (Ungu Violet, D`Bijis) setelah 2,5 tahun mempersiapkan segalanya untuk film Sang Kiai.
Naskah, riset cerita, casting pemain handal, persiapan properti dan kostum, serta latar tempat yang harus mendukung jamannya dan tak terkesan membodohi penonton. Lembaran rupiah yang digelontorkan pun tak sedikit, karena wajib menciptakan sebuah dunia yang akurat waktu dan tempatnya. Tak terlalu banyak referensi atau dokumentasi tersisa, hanya dari mulut ke mulut saja ceritanya diturunkan, terutama di tempat asalnya. Semua kerja keras itu terbayar sudah. Sang Kiai menebarkan semangat heroisme, patriotisme, dan nasionalisme yang mungkin sudah mulai memudar saat ini.
Dibuka dengan kisah kedekatan Kiai Haji Hasyim Asy`ari (atau dieja Ashari) yang diperankan Ikranagara, dengan anak-anak pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Ada Harun (Adipati Dolken) yang naksir Sari (Merissa Febriana Batubara), lalu Kiai menjodohkan mereka bak ayah kandung Harun. Lalu ada Khamid (Rohyan Hidayat) yang slengean tapi pemberani. Istri Kiai, Nyai Kapu (Christine Hakim) mengajar ngaji kepada anak-anak perempuan.
Tahun 1942, Jepang menguasai sebagian besar wilayah Asia dan berada di atas angin. Belanda pergi, namun Jepang yang mengaku sebagai saudara tua ternyata sama-sama ingin memanfaatkan rakyat Indonesia untuk kepentingannya di perang dunia kedua. Kiai pun ditangkap dan disiksa karena dituduh menghasut rakyat memberontak, padahal Jepang memaksakan seluruh pesantren untuk mengikuti sekerei (menghormati dewa matahari dengan membungkuk), yang dianggap menistakan ajaran agama Islam.
Putra Kiai, Wahid Hasyim (Agus Kuncoro) memilih berjuang dengan cara diplomasi dan mengajak massa yang setia pada Kiai untuk merepotkan Jepang. Usahanya membuahkan hasil sehingga Jepang menyadari pengaruh dari Kiai Hasyim Asy`ari dan membebaskannya. Kiai kemudian menjadi pimpinan tertinggi Masyumi, organisasi yang diharapkan Jepang dapat menggalang simpati rakyat muslim untuk mendukung Jepang.
Ketika keputusan Kiai seolah tak merespons eksekusi Zaenal Mustofa, perang semakin memanas, bahan makanan makin langka dan rakyat makin melarat, beberapa orang termasuk Harun mempertanyakan apa yang dipikirkan oleh Hasyim Asy`ari. Film berlanjut hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan dan agresi militer Belanda dilancarkan.
Ada greget dan kepuasan yang diperoleh ketika melihat sajian sejarah perjuangan kemerdekaan bisa ditampilkan di layar lebar dengan tak setengah-setengah. Siapapun pasti akan menitikkan air mata atau minimal terharu, menyaksikan dramatisasi seseorang yang sangat mempengaruhi kelahiran negerinya.
Sang Kiai tahu bagaimana menggedor adrenalin dan emosi penonton, ketika Hasyim Asy`ari disiksa tentara Jepang atau ketika pertempuran yang menewaskan Brigadir Mallaby direkonstrusikan. Cerita dari lembaran-lembaran buku sejarah yang diajarkan di sekolah seolah diberikan nyawa melalui film ini.
Tak hanya penggarapan Rako yang maksimal. Seluruh detil tata produksi, kostum, make up, bangunan, hingga aksen artistik dibuat dengan menyerupai aslinya, atau minimal berhasil memunculkan nuansa 'jadul` era 40-an yang tak palsu. Atmosfir terbangun, didukung pula akting luar biasa dari Ikranagara sebagai K.H Hasyim Asy`ari. Ikra sangat menghidupkan sosok Hasyim Asy`ari, tanpa keraguan atau cacat, sejak awal hingga akhir. Bahasa tubuh dan vokal, serta ekspresi Hasyim Asy`ari terinterpretasikan dengan mengesankan.
Christine Hakim, juga melebur dalam perannya meski porsi adegannya tak terlalu banyak. Adipati Dolken juga bermain apik sebagai Harun, pemuda pesantren yang belajar memegang senjata buat bangsanya. Terbukti dalam satu adegan penting ketika Harun hanya memegang ujung kain penutup kepala Kiai, sederhana tapi terasa menyentuh. Agus Kuncoro tak gagal mengisi porsi yang penting dalam film sebagai Wahid Hasyim. Sisanya para pemain muda hingga figuran pun diarahkan Rako menjadi satu kesatuan yang utuh, diiringi scoring dari penata musik Aghi Norotama yang berulang kali menyayat hati.
Meski di beberapa bagian film berjalan pelan seolah malas beranjak, namun beberapa kejutan dalam film dapat melancarkan kembali laju film Sang Kiai. Rasa penasaran akan munculnya tokoh-tokoh yang selama ini hanya dikenal di buku sejarah atau menjadi nama jalan pun terobati, dari Hasyim Asy`ari, Wahid Hasyim, Zaenal Mustofa, hingga Bung Tomo mendapatkan tempatnya di film ini. Sang Kiai dibuat dari sudut pandang yang menyorot sisi perjuangan umat Islam dalam dimensi yang cukup luas.
Sesuai dengan misinya, bukan hanya semangat nasionalisme yang saling mendukung dengan keagamaan, namun juga soal sulitnya meraih kemerdekaan yang kembali digemakan lewat film ini. Islam adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Untuk "perang" yang dialami generasi Indonesia saat ini, prinsip-prinsip Kiai Hasyim Asy`ari "Mata bisa menyesatkan, akal bisa melenakan. Kita seharusnya bisa melihat dengan batin" pun terasa abadi untuk direnungkan.
Sang Kiai berdurasi 135 menit dan sudah dapat ditonton di bioskop-bioskop di Indonesia mulai 30 Mei 2013. (*/Ven)
Berita Lainnya :