Presiden Yudhoyono dinilai berhasil memelihara perdamaian
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima 2013 World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation (ACF) di New York, AS, Kamis (30/5) malam waktu setempat.
Penghargaan itu diberikan olehRabbi Arthur Schneier, pemimpin Appeal of Conscience Foundation.
Ia mengatakan penghargaan itu adalah pengakuan atas prestasi Yudhoyono "dalam upaya internasional untuk memelihara perdamaian bersama dan adalah dorongan untuk meningkatkan hak asasi manusia, kebebasan beragama, dan kerja sama antar agama."
Dalam pidatonya, Yudhoyono mengatakan ia menerima penghargaan itu "atas nama seluruh bangsa Indonesia" dan berharap akan tercipta "sebuah masyarakat yang harmonis dalam perdamaian dan kemakmuran."
Di luar hotel The Pierre tempat acara berlangsung, sekelompok warga Indonesia yang bermukim di AS melakukan aksi protes.
Mereka membawa poster-poster berisi penolakan atas penghargaan itu.
Salah satu peserta aksi, Fitri Mohan, mengatakan di akun Twitter bahwa "aksi protes barusan bukanlah soal Pro atau Anti SBY, tapi soal hati nurani yg terganggu."
Salah satu pengunjuk rasa yang memprotes penghargaan itu
Sejak awal diberitakan, penghargaan ini telah menuai beragam reaksi pro dan kontra. Sejumlah pihak yang mendukung diantaranya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Kita dukung penuh penghargaan itu, jadi itu bukan hanya untuk presiden, tapi untuk kita semua termasuk majelis ulama ikut merasa mendapatkan penghargaan," kata Ketua MUI Ma'ruf Amin kepada wartawan dalam jumpa pers, Selasa (28/05).
MUI menilai kehidupan beragama di Indonesia sangat harmonis dan pengelolaannya tidak menggunakan cara-cara represif."Itu sesuatu yang patut dihargai," kata Amin.
Sementara pihak-pihak yang menentang termasuk dari profesor filsafat dan pastor Katolik Franz Magnis Suseno yang menulis surat kepada ACF.
"Yudhoyono tidak pernah mengatakan bahwa kaum radikal harus menghormati kaum minoritas"
Dalam suratnya, Franz antara lain menyoroti tindakan represif terhadap kelompok minoritas serta sulitnya mendirikan gereja.
"Tidakkah Anda juga tahu bahwa presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak pertama kali menjabat sampai 8 1/2 tahun kini, di istananya belum pernah satu kali pun ia mengatakan sesuatu kepada rakyat Indonesia, bahwa kaum radikal harus menghormati kaum minoritas? ia (sic) telah mempermalukan diri sendiri dengan menghindari tanggung jawab terhadap meningkatnya kekerasan yang menimpa jemaah Ahmadiyah dan warga Syiah?," demikian cuplikan surat Franz Magnis Suseno.
Pekan lalu, pemerintah AS juga melontarkan Klik keprihatinan atas kekerasan pada minoritas di Indonesia yang disampaikan oleh pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, Dan Baer.
Menurut AS, hal itu "mengancam reputasi Indonesia dalam toleransi beragama."
Organisasi pegiat HAM Human Rights Watch mengatakan pernyataan itu adalah sebuah eufisme dan bahwa AS menolak mengatakan secara gamblang bahwa kekerasan atas nama agama semakin buruk.
"Kelompok-kelompok Islam militan semakin sering memobilisir massa untuk menyerang kelompok minoritas dan mereka nyaris tidak akan mendapat hukuman apa pun," kata HRW.