NUSANTARA
Selasa, 06 Agustus 2013 20:02 wib
Salman Mardira - Okezone
Ponpes Markaz Al Islah Al Aziziyah (Foto: Salman Mardira/Okezone)
BANDA ACEH - Adzan Zuhur berkumandang. Mengenakan pakaian serba putih, Lukman (19) bergegas ke tempat wudhu, kemudian menuju sebuah balai kayu atau musala di Dayah (Pasantren) Markaz Al Ishlah Al Aziziyah. Bersama para santri lain, ia mengikuti Salat Dzuhur berjamaah.
Usai menunaikan salat yang dilanjut dengan zikir bersama, mereka menyebar ke beberapa balai untuk kegiatan pegajian rutin. "Walaupun bulan puasa, ngaji sehabis Zuhur tetap seperti biasa," tutur Lukman.
Lukman merupakan satu dari 180 santri pondok yang terletak di Lueng Bata, Banda Aceh. Pemuda asal Alue Papuen, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara, itu sudah delapan tahun mondok. Ia satu dari sekian banyak anak yatim korban konflik yang belajar di pesantren ini.
Pemimpin Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, Teungku Bulqaini Tanjongan, mengatakan, pesantren ini didirikan khusus untuk menampung anak-anak yang kehilangan orangtuanya selama konflik antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bukan hanya dari kalangan sipil, anak TNI/Polri dan GAM juga ditampung di sini. Mereka saling berbaur satu sama lain, melupakan permusuhan orangtuanya.
Berdiri sejak 2002, dayah tersebut sengaja dinamakan Markaz Al Ishlah Al Aziziyah yang artinya pusat perdamaian.
"Tujuan saya mendirikan dayah ini untuk memutus mata rantai dendam dalam dada mereka," jelasnya.
Menurutnya, dendam adalah masalah serius di Aceh. Konflik bersenjata yang merengut banyak nyawa, melahirkan ribuan anak-anak tanpa orangtua atau anggota keluarganya. Ini potensi besar terhadap terjadinya konflik baru, bila tidak diatasi secara benar.
"Salah-salah mengatasi soal dendam, Aceh bisa perang lagi. Anak-anak para korban itu rata-rata menyimpan dendam, tinggal disulut saja jadi perang lagi," ungkapnya.
Bulqaini meyakini, dendam hanya dapat diatasi dengan dua hal, yaitu ilmu agama dan dunia. Untuk memupus dendam pada diri anak korban, di dayah itu, para santri disibukkan dengan memelajari dua ilmu itu.
Belajar agama metodenya mengadopsi gaya pesantren salafi. Untuk sekolah, tingkat menengah dan atas sudah berdiri MTs dan Madrasah Aliyah swasta di kompleks dayah. Sedangkan untuk tingkat dasar, santrinya dimasukkan ke SD terdekat. Biaya sekolah semua ditanggung pesantren.
Ihwal beridirinya dayah ini berawal dari keprihatinan Bulqaini saat melihat anak-anak korban konflik. Ketika konflik memanas pada awal 2000, Bulqaini adalah aktivis Rabithat Thaliban Aceh, organisasi kemanusiaan yang digerakkan para santri, untuk membantu advokasi hak-hak korban.
Ia rajin berkunjung ke berbagai daerah, melihat anak-anak yang kehilangan orangtuanya. Suatu ketika ia bertandang ke kamp pengungsian di Beureunuen, Kabupaten Pidie. Di sana, ia berinteraksi dengan anak-anak korban.
"Saya memperlihatkan sebuah majalah Adil yang cover depannya Prabowo yang saat itu Danjen Kopassus. Saya tanya ini siapa, sontak mereka menjawab pembunuh orangtua kami. Saya langsung lemas, ternyata walaupun masih kecil mereka sudah menyimpan kebencian," tuturnya.
Sepulang dari Amerika Serikat sebagai aktivis kemanusiaan, Bulqaini mewujudkan niatnya membangun sebuah pesantren untuk anak-anak korban konflik. Ia merogoh simpanan pribadinya sebesar Rp40 juta untuk membeli 1.000 meter persegi tanah di Lueng Bata. Di tanah itu ia mendirikan dayah.
Beberapa dermawan saat itu menyumbang papan dan bahan material lainnya untuk pembangunan asrama dan balai pengajian.
Dayah berdiri, Bulqaini kemudian rajin turun ke kampong-kampung mengajak anak-anak yang kehilangan orangtuanya untuk mondok di dayah itu.
(ton)
Berita Selengkapnya Klik di Sini