Created on Monday, 02 September 2013 16:49 Published Date
Jakarta, GATRAnews - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan Badan PBB yang mengurusi keantariksaan (United Nations Office for Outer Space Affairs/ UNOOSA) menyelenggarakan United Nations/Indonesia International Conference on Integrated Space Technology Applications to Climate Change (Konferensi Internasional tentang Aplikasi Teknologi Antariksa untuk Perubahan Iklim).
Konferensi tersebut berlangsung pada mulai hari ini, hingga 4 September 2013, di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng Selatan, Jakarta. "Konfrensi ini merupakan yang pertama kalinya digelar. Dan Jakarta dipilih sebagai tempat pertama terselenggaranya konfrensi ini," ujar Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bambang S Tejasukmana, di Jakarta, Senin (2/9).
Konferensi ini menghadirkan pakar-pakar di bidang teknologi antariksa dan perubahan iklim serta para pengambil keputusan dari berbagai negara. Mereka berdiskusi mengenai cara mengantisipasi dampak perubahan iklim dengan menggunakan teknologi antariksa, khususnya teknologi penginderaan jauh, baik terkait adaptasi maupun mitigasi.
"Kenapa dipilih Indonesia sebagai tempat konfrensi, adalah karena Indonesia bisa dibilang negara yang paling terkena dampak dari perubahan iklim tersebut," kata Bambang.
Tujuan konferensi ini antara lain untuk menghitung tingkat kerentanan suatu negara atau wilayah terhadap perubahan iklim dan mengidentifikasi alternatif potensial terkait upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Selain itu, konferensi ini juga akan meningkatkan sinergi antara komunitas antariksa dengan berbagai organisasi terkait perubahan iklim. Sinergi ini tentunya akan memperkuat kerja sama regional dan internasional.
Fenomena global seperti perubahan iklim berpotensi mengancam dimensi-dimensi pembangunan berkelanjutan seperti ekonomi, sosial, dan lingkungan.
"Konferensi internasional ini diharapkan dapat mendiskusikan peran teknologi antariksa yang memiliki kemampuan untuk mengobservasi variabel-variabel perubahan iklim, seperti kenaikan muka air laut (sea level rise), trend deforestasi atau emisi karbon, dan parameter lainnya yang sulit dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan seperti semakin berkurangnya es di kutub," jelas Bambang.
Sementara itu Staf Ahli Bidang Teknologi Hankam Kementerian Ristek Teguh Rahardjo menambahkan, konferensi ini juga akan membahas tentang bagaimana perlunya Indonesia memiliki satelit sendiri. "Indonesia belum punya satelit, khususnya di meteorologi," tuturnya.
Untuk itu, kata dia, Indonesia sangat memerlukan alat dan data seperti satelit tersebut agar mampu memonitor cuaca secara berkesinambungan. "Langkah itu akan sangat membantu dalam memantau lahan-lahan yang paling terpengaruh perubahan iklim, sperti pantai, dan lahan dekat sungai. Selain itu bisa juga digunakan untuk memantau cuaca guna mencegah kekeringan," jelasnya. (*/DKu)
Berita Lainnya :