Indonesia dan Cina diharapkan dapat menandatangani perjanjian bilateral swap Rabu (02/10) mendatang.
Sebuah perjanjian pinjaman untuk mengatasi penurunan nilai rupiah terhadap dolar dijadwalkan dapat diteken oleh Indonesia dan Cina ketika pemimpin kedua negara itu bertemu pada Rabu (02/10) mendatang di Jakarta.
Namun, seberapa efektif pinjaman ini dapat meredam gejolak ekonomi saat ini?
Pelemahan nilai rupiah masih menjadi masalah yang dalam jangka pendek belum juga bisa diatasi. Hingga 30 September 2013 -menurut kurs tengah Bank Indonesia- rupiah kian tersungkur ke level Rp11.613 per dolar Amerika Serikat, atau turun sekitar 18% dari awal Juni kemarin.
Pemerintah mengeliarkan empat kebijakan pokok untuk mengatasi gejolak ekonomi akhir Agustus lalu.
Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena depresiasi paling parah, selain India, Klik yang mata uangnya juga jatuh sekitar 24% sejak Mei lalu akibat kekhawatiran adanya penarikan Klik stimulus dari bank sentral Amerika Serikat, The Fed.
Untuk menahan gejolak ini, Indonesia tengah menjajaki perjanjian bilateral currency swap dengan beberapa negara, termasuk Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Beberapa media massa menyebut nilai kerjasama ini totalnya bisa mencapai US$40 miliar atau setara dengan Rp464,2 trilun.
Perjanjian bilateral swap semacam ini, memungkinkan Indonesia melalui bank sentral meminjam sejumlah dolar kepada suatu negara dengan jaminan rupiah (dalam bentuk tunai atau surat utang) dengan jangka waktu tertentu.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, 18 September lalu, mengatakan bilateral swap menjadi pertahanan lapis dua Indonesia dalam mengantisipasi dampak negatif dari penarikan stimulus oleh The Fed dalam beberapa bulan mendatang.
"Bilateral swap dengan Jepang, Cina ini menjadi second line of defense. Ini menunjukan kita tangguh untuk mengantisipasi kemungkinan yang ada," kata Hatta kepada wartawan.
Untungkan dua belah pihak
Pengamat ekonomi Standard Chartered, Fauzi Ichsan, menyambut baik perjanjian tersebut. Dia mengatakan terbukanya 'akses' terhadap cadangan devisa Cina ini dapat memberikan sentimen positif kepada pasar yang awalnya cukup pesimistis karena cadangan devisa Indonesia saat ini sudah semakin tergerus.
"Dibandingkan Indonesia, Cina memiliki cadangan devisa yang sangat besar. Dengan adanya pinjaman ini, pemerintah bisa memupuk kembali cadangan devisa yang semakin menepis."
"Peningkatan cadangan devisa, otomatis membuat kemampuan Bank Indonesia untuk melakukan intervensi di pasar valas semakin besar," kata Fauzi.
Pergerakan rupiah dari Juni hingga September 2013.
Cadangan devisa Indonesia hingga akhir September ini tercatat sebesar US$92,9 miliar, atau turun dari US$124 milar pada Agustus 2011 lalu. Sementara Cina, memiliki cadangan devisa yang relatif besar, yaitu di atas US$3 triliun dolar.
Selain menguntungkan Indonesia, perjanjian ini juga dinilai akan memberikan dampak baik bagi negara kreditur karena banyak investor asal Jepang, Cina, dan Korea Selatan yang menanam modalnya ke Indonesia.
"Kebetulan pengusaha di negara mereka banyak melakukan investasi di Indonesia, jika rupiah terpuruk, investor mereka juga akan terpuruk, sehingga mereka secara tidak langsung punya kepentingan untuk membantu stabilitas rupiah," kata Fauzi Ichsan.
Tidak selesaikan masalah
China memiliki cadangan devisa jauh lebih besar dibandingkan Indonesia.
Namun menurutnya, pemerintah tidak bisa menggantungkan harapan pada bilateral swap saja, karena pada dasarnya perjanjian ini adalah perjanjian utang yang harus dibayar kembali jika digunakan.
"Ini tidak bisa menyelesaikan masalah fundamental ekonomi yang menjadi penyebab pelemahan rupiah, yaitu defisitnya neraca perdagangan."
Fauzi menilai ada dua cara yang dilakukan untuk mengatasi defisit yang semakin melebar. Pertama, Bank Indonesia bisa menaikan suku bunga sehingga bisa mengurangi likuiditas rupiah di pasar. Kedua, dari sisi pemerintah, dapat menempuh kebijakan untuk mengurangi impor dan meningkatkan ekspor.
"Sebanyak 60% ekspor dari Indonesia adalah komoditas, yang harganya masih turun, sehingga sulit untuk tingkatkan ekspor secara tajam. Sementara insentif kepada eksportir sifatnya jangka menengah dan panjang. Kini yang bisa dilakukan adalah menurunkan impor, dengan melambatkan pertumbuhan ekonomi."
Namun dengan ketergantungan Indonesia ke Cina, Fauzi pesimistis jika impor barang, khususnya manufaktur dari Cina, bisa dikurangi.
"Kalau kita berharap miliki akses ke devisa mereka, saya pikir mereka juga akan berharap kita tidak batasi impor mereka. Wajar menurut saya, dan saya rasa negosiasinya ke arah sana."
Sejauh ini, Bank Indonesia telah menaikan suku bunga acuan BI rate dari 5,75% menjadi 7,25%. Sementara pemerintah telah mengupayakan Klik empat paket kebijakan untuk menggenjot ekspor dan mengurangi impor.
Namun beberapa pihak menilai, kebijakan tersebut baru bisa berdampak dalam jangka menengah dan panjang, Klik namun tidak dalam jangka pendek.