Pages

Minggu, 21 Juli 2013

Sindikasi welcomepage.okezone.com
Berita-berita Okezone pada kanal welcomepage // via fulltextrssfeed.com 
Kontestasi Pilkada Kian Tak Mendidik Publik
Jul 21st 2013, 11:49

POLHUKAM

Minggu, 21 Juli 2013 18:49 wib

Dede Suryana - Okezone

Ilustrasi (Dok Okezone)Ilustrasi (Dok Okezone)

JAKARTA - Ajang kontestasi politik, seperti pemilihan kepala daerah, harusnya bisa menjadi sebuah instrumen untuk mendidik publik. Sayang, pragmatisme politik, meminggirkan itu.
 
Politik dinasti, kian marak dan kebablasan, bahkan, acapkali tak tahu malu. Alhasil, kontestasi Pilkada pun, tak memberi nilai pendidikan sama sekali. Selain ajang berburu kekuasaan semata.
 
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi menilai kepatutan berpolitik saat ini kian dianggap tak penting. Demi kekuasaan, keetisan dinomor duakan. "Misal, makin maraknya praktek politik dinasti di berbagai Pilkada," kata dia.
 
Sebenarnya, kata dia, politik dinasti, wajar saja dilakukan. Asal, nilai kepatutan diajek-kan. Elit, kata dia, jelas bertanggung jawab kepada publik, memberi contoh bagaimana berpolitik dengan patut. Pun partai.
 
"Tapi, karena nilai kepatutan itu diabaikan, jangan heran bila ada kasus,  sang  suami  masih mendekam di penjara,  karena terlibat kasus korupsi, istri Wali Kota Bekasi, Jawa Barat Mochtar Muhammad masih sempat berlaga di Pilwali Bekasi," kata Ari.
 
Kisah hampir, terjadi terjadi di Pemilihan Gubernur,  Sumatera Selatan. Seperti diketahui, Herman Deru berpasangan dengan  Maphilinda Syahrial Oesman. Maphilinda sendiri merupakan istri dari mantan Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman. Syahrial, sendiri, pernah terjerat kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan lindung menjadi pelabuhan Tanjung Api-api. Oleh Pengadilan Tipikor, Syahrial, di vonis 1 tahun penjara. Tapi, saat banding ke Mahkamah Agung, hukumannya ditambah menjadi 3 tahun.
 
"Tapi itulah,  hampir disemua ajang Pilkada, bila suami sudah menyelesaikan masa tugasnya sebagai kepala daerah,  sang istri seolah-olah "terpanggil" ikut meneruskan jejak kepemimpinan keluarga dalam politik," kata Ari.
 
Ari menambahkan, melihat contoh tersebut, telah terjadi distorsi dan anomali politik di era reformasi saat ini. Seolah-olah kebebasan politik yang kian terbuka, dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik yang hanya semata berjuang demi kapitalisasi dan politik dinasti.
 
"Tidak ada yang salah memang dengan politik dinasti,  tapi jika yang dimajukan adalah person-person yang tidak punya kapasitas dan kapabiltas kepemimpinan, sama saja pemilih menyerahkan nasibnya kepada orang yang salah," kata Ari.
 
Karena itu, kata dia, pemilih  harus mendapat political literasi,  berupa pemahaman dan pengenalan terhadap sepak terjang calon kepala daerah.  Jangan lagi publik,  membeli kucing dalam karung. "Yang kita hendaki sebenarnya kucing Persia, ternyata yang kita dapatkan kucing buduk,"kata Ari.
 
Ia pun, berharap parpol sebagai institusi pencetak kader agar tidak menyodorkan calon kepala daerah dan wakilnya, yang tidak punya kompetensi. Politik balas budi, politik uang,  maupun politik melanggengkan kekuasaan harus dikikis habis.
 
"Itupun jika kita bersama menghendaki karakter kepemimpinan yang kuat. Jangan lagi ada pameo,  kalau calon pemimpin itu bisa diijon karena orang tuanya, suaminya, pernah menjadi Bupati, Gubernur atau ketua umum partai," kata Ari
 
Koordinator Indonesian Budgeting Center (IBC), Arif Nuralam, juga sepakat.  Menurut dia, politik dinasti harus di hilangkan. Karena cenderung melahirkan pimpinan yang  feodal dan korup. Untuk  itu ia setuju, bila RUU Pilkada hendak mengaturnya. "Termasuk suami atau istri atau anak yang terbukti, pernah korupsi,  maka tak pantas untuk diusung,  karena  akan melanggeng dinasti yang korup," kata Arif.
 
Karena itu, kata dia, pemerintah dan DPR mesti  serius,  mengatur hal ini dalam RUU Pilkada. Apalagi IBC mencatatkan, bahwa kepala daerah yang tersandera korupsi terus meningkat. Dan berdampak kepada terlantarnya, pelayanan pubilik.
 
Sedangkan Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, mengatakan, sudah saat Kementerian Dalam Negeri untuk mengeluarkan regulasi tentang tak bolehkannya  keluarga untuk jadi kepala daerah lagi. Hal ini membuat demokrasi tidak sehat, jika kepala daerah atau wakil  dari keluarga itu-itu saja.
 
"Biasanya, kalau kepala daerah itu-itu saja,  memang hak politik mereka, tapi  secara etika tidak baik buat publik. Ada indikasi, memperrtahankan satu keluarga dalam Pilkada, itu biasanya, untuk menghilangkan banyak penyimpangaan kebijakan, termasuk kebijakan anggaran, " tutur Uchok.
(ful)

Berita Selengkapnya Klik di Sini

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions