ANALISA EKONOMI
Rabu, 28 Agustus 2013 10:37 wib
Koran SINDO -
Ilustrasi. (Foto: Setkab)
NILAI tukar rupiah terhadap dolar dalam dua minggu ini mengalami penurunan signifikan hingga sempat menembus Rp11.000 per USD. Sejak awal tahun, rupiah sudah kehilangan nilai tukar hingga lebih dari 10 persen.
Juga terjadi arus keluar dana investor asing yang keluar dari Bursa Efek Indonesia senilai Rp7,8 triliun. Banyak pengusaha dan media menyikapi fenomena ini secara intens dengan kekhawatiran terjadinya krisis moneter seperti tahun 1998, di mana nilai rupiah sempat menyentuh 17.000 dan capital outflow secara masif yang mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat lalu (23/8/2013), meluncurkan empat paket kebijakan ekonomi untuk merespons penurunan tersebut.
Sebelum mengkaji efektivitas paket kebijakan ekonomi tersebut, mari kita telaah penyebab penurunan rupiah. Pasar valuta asing bekerja dengan prinsip penawaran dan permintaan. Bila lebih banyak pelaku pasar yang menjual rupiah dan membeli dolar dari sebaliknya, nilai tukar rupiah akan menurun. Secara internal, Indonesia terdapat dua penyebab utama. Pertama, defisit neraca berjalan yang pada kuartal II (April– Juni) 2013 mencapai 4,4 persen jauh tinggi dari kuartal I (Januari– Maret) yang 2,8 persen.
Meningkatnya defisit neraca berjalan berarti penduduk dan perusahaan di Indonesia lebih banyak membeli dari luar negeri dibandingkan menjual. Sebagian besar transaksi ekspor dan impor menggunakan dolar, sehingga permintaan terhadap dolar meningkat untuk membiayai impor tersebut. Penyebab internal kedua, adalah tingkat inflasi Indonesia. Apabila nilai riil dari rupiah menurun karena inflasi maka nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing otomatis juga akan alami depresiasi.
Inflasi pada Juli mencapai 3,29 persen, sehingga inflasi semester pertama (Januari–Juli) 2013 mencapai 8,61 persen. Angka tersebut cukup tinggi dibandingkan tingkat inflasi tahun 2011 dan 2012 yang hanya 3,79 persen dan 4,3 persen. Tingginya inflasi tahun ini disebabkan karena kenaikan harga BBM yang memiliki dampak multiplier ke komoditi lainnya, khususnya yang memiliki komponen energi dan transportasi yang signifikan.
Kenaikan BBM kali ini berdempetan dengan Ramadan dan Lebaran, di mana terjadi peningkatan permintaan barang dan jasa. Akumulasi kedua faktor ini berakibat pada inflasi yang ekstratinggi juga. Tingkat inflasi tahun 2005 yang alami kenaikan BBM mencapai 17,11 persen, namun tidak terjadi capital outflow dan penurunan nilai rupiah yang drastis. Sehingga resep kebijakan yang komprehensif membutuhkan analisis terhadap kondisi regional dan global.
Rapat rutin Dewan Gubernur Bank Sentral Amerika, lebih kerap disebut The Fed, memberikan indikasi akan mengurangi stimulus moneter yang selama ini gencar dilakukan dengan menekan suku bunga dan memborong berbagai instrumen pasar. Masa jabatan Bernanke sebagai pimpinan The Fed akan berakhir pada awal tahun depan dan hingga sekarang belum ditetapkan penggantinya.
Tingginya arus modal ke negara berkembang pada 2011 dan 2012 didorong oleh para pelaku pasar yang mencari tingkat return lebih tinggi, dibandingkan obligasi pemerintah Amerika yang untuk periode tersebut berkisar pada 1 persen. Laporan biro statistik Amerika pada Agustus juga menunjukkan perbaikan dengan tingkat pengangguran yang berkurang. Ekonomi Eropa juga menunjukkan tanda positif dan bahkan neraca perdagangannya surplus.
Kombinasi berbagai faktor dan tendensi kenaikan suku bunga di tersebut memicu sebagian para pelaku pasar untuk pulang kampung ke Amerika dan Eropa. Maka bukan hanya Indonesia yang alami capital outflow dan penurunan nilai mata uang, melainkan juga India, China, Brasil, dan Turki yang selama ini dikategorikan sebagai emerging market yang selama dua tahun terakhir menjadi favorit destinasi investasi pelaku pasar. Nilai mata uang India bahkan jatuh hingga 17 persen.
Dengan kondisi dan latar belakang yang dijabarkan, bagaimana resep kebijakan yang efektif untuk minimalisir dampak negatif? Karena penyebab utama dari fluktuasi rupiah adalah dari faktor eksternal dan dampaknya terkena ke banyak negara, perlu koordinasi kebijakan antarnegara khususnya negara yang terkena dampak dengan didukung beberapa negara G-8.
Koordinasi moneter yang sering menjadi referensi adalah Plaza Accord pada 1985, di mana pemerintah Amerika, Jepang, Prancis, Jerman, dan Kanada bergerak bersama dan berhasil menurunkan nilai dolar Amerika terhadap yen (Jepang) dan mark (Jerman). Indonesia bagian dari Chiang Mai Initiative yang merupakan kerja sama Asia untuk perkuat stabilitas nilai tukar dan makro. Pada 2010, Indonesia pernah meminta pinjaman siaga, padahal cadangan devisa saat itu masih USD124,7 miliar.
Fluktuasi yang asalnya short-term membutuhkan respons kebijakan yang nyata dampaknya pada jangka pendek Salah satu bagian dari paket kebijakan pemerintah adalah mengurangi defisit berjalan. Bila kita telaah neraca berjalan, 24,3 persen dari impor Indonesia Januari–Juni 2013 adalah minyak dan gas yang meningkat drastis 24,8 persen dibandingkan tahunlalu. Untukmengetahuiapakah kenaikan BBM mengurangi konsumsi dan impor masih perlu menunggu BPS mengeluarkan data bulan Agustus dan September.
Tentunya perlu dikomplementasikan dengan kebijakan untuk perbaikan transportasi publik dan berpindahnya dari BBM ke energi terbarukan. Adapun hampir sepertiga impor nonmigas (31,6 persen) berupa mesin dan elektronik yang sebagian besar merupakan bahan modal dan berpotensi mendorong ekspor. Fenomena ini sering disebut investment-induced import, di mana investasi yang disetujui (khususnya 1-2 tahun lalu) sedang membangun pabrik dan membeli mesin dari luar negeri yang pemerintah memberikan fasilitas pembebasan bea masuk.
Jadi apa impor yang bisa dikurangi? Kenaikan bea masuk untuk sektor automotif yang merupakan 5,78 persen dari impor harus diwaspadai sehingga tidak hanya substitusi ke tipe low cost green car (LCGC) yang mendapat pembebasan bea masuk. Potensi lain adalah besi-baja yang merupakan produk impor terbesar ketiga dan 7,5 persen dari total di mana Krakatau Steel telah menjalin kerja sama dengan Japan Steel dan Posco Steel dari Korea Selatan.
Kebijakan lain untuk mengurangi inflasi adalah menjaga pertumbuhan ekonomi dan permudah investasi bersifat jangka menengah. Namun, perlu waktu untuk merasakan dampak kebijakan ini, sehingga tak heran pelaku pasar tidak merespons secara positif dan nilai rupiah serta IHSG tidak meningkat.
Supaya kredibilitas kebijakan meningkat, pemerintah perlu segera memberikan detail dari insentif dan kebijakan dalam paket tersebut, sehingga dapat dianalisis secara mendalam dan tidak berkesan sekadar pencitraan. Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia pada khususnya perlu bekerja ekstrakeras untuk menjaga stabilitas rupiah dan pertumbuhan ekonomi di tahun politik.
BERLY MARTAWARDAYA
Dosen FEUI dan Ekonom Indef
(Koran SINDO//wdi)
Berita Selengkapnya Klik di Sini