CERPEN
Sabtu, 28 September 2013 08:15 wib
-
Ilustrasi (Dok Okezone)
KESEDERHANAAN adalah jalan terpendek menuju kecantikan. Filosofi Yunani kuno itu kembali terngiang dalam ingatanku. Sederet kata yang kubaca di lembaran brosur wisata Kota Tua. Entah bagaimana, brosur itu bisa selamat dari injakan kaki-kaki penumpang kereta dan gesekan sapu lidi peminta-minta.
Dari brosur itu, aku tahu sejarah panjang perkeretaapian di negeri ini. Sejarah yang menyeret tubuh rentaku terseok membawa sesak dan riuh beban, hilir mudik menyusuri jalur kereta Jakarta-Bogor. Kalian mungkin pernah merasakan sesak rongga tubuhku dan mengutuk kelambanan gerakku. Memang begitulah keadaanku, kereta listrik kelas ekonomi yang dipaksa bekerja keras di masa senja. Sebagaimana orang tua yang sudah renta, tapi terus bekerja dan bekerja demi laju kehidupan anak-anaknya.
Waktu terus berderak, sementara banyak orang tidak pernah bisa dewasa. Lihatlah, bagaimana mereka dengan semena-mena memperkosa, merusak, merajam, dan memecahkan kaca tubuhku. Sementara di lain waktu mereka begitu rindu menanti kedatanganku. Hitam-hitam kereta api, biar hitam banyak yang menanti.
Apakah aku didatangkan dari negeri seberang hanya untuk diperkosa? Belum sempurna laju tubuhku berhenti di bibir peron, tubuh-tubuh berebutan memasuki celah pintu sempit hingga beradu dengan penumpang yang ingin keluar. Semuanya seperti tak ingin kehilangan kesempatan yang hanya terbuka dua puluh detik saja. Waktu sempit yang dimanfaatkan oleh tangan-tangan tidak bertanggungjawab untuk mencopet atau menjabret barang bawaan penumpang yang tidak waspada.
Mereka telah memperkosa aku. Pada celah sempit yang sudah sesak, mereka masih saja memaksa masuk. Aku sampai tersengal-sengal menahan sakit tak terkira. Mengapa mereka tidak bisa keluar masuk dengan tertib? Bukankah negeri ini dipenuhi oleh penduduk penyabar dan terkenal ramah tamah?
Kadang mereka nakal memanjati tubuhku, meremehkan bahaya dengan menyesaki atap rapuhku. Mungkin elang yang terbang di angkasa akan melihatku serupa ulat bulu raksasa yang merayapi bumi. Padahal tungkai lengan pantografku selalu meraba aliran listrik 1.500 volt yang setiap saat bisa menjungkalkan tubuh.
Apakah kecantikan adalah jalan terpendek menuju perkosaan. Tapi mengapa tubuhku yang renta dan tidak cantik ini masih saja terus diperkosa dan diperkosa? Mungkin memang ini jalan hidupku, sebagaimana bangunan tua tidak terawat. Kandungan sejarah digasak lapak-lapak dan bangunan modern. Sepertinya bangsa ini memang tidak memerlukan jejak sejarah.
Aku tak tahu harus berkeluh kesah pada siapa. Stasiun Kota tempat aku berlabuh juga tak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya di stasiun itu aku bisa beristirahat sejenak, setelah satu setengah jam perjalanan yang menjemukan dari Stasiun Bogor. Tapi karena rangkaian kereta lain sudah sesak, tubuh-tubuh begitu saja menyerbu. Padahal ingin sekali aku berlama-lama menatapi sisa-sisa kemegahan stasiun yang menurut brosur dirancang oleh Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels, arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, Jawa Timur.
Stasiun Beos. Begitu kalian menyebutnya. Ternyata nama itu berasal dari kata Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij, nama sebuah Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur. Tapi versi lain menyebutkan kalau Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan sekitarnya.
Sejarah menurut para ahli memang memiliki banyak versi. Mungkin juga akan ada banyak versi sejarah tentang keberadaanku dan keterpurukanku nanti. Itupun jika ada orang yang sudi mencatat atau membuatkan relief tentang ular besi yang melata sepanjang jalur Jabodetabek.
Sepertinya aku sendiri yang harus membuat catatan pada batu-batu yang terhampar di sekitar rel. Sebelum aku tenggelam dan hilang dari ingatan sejarah. Aku tak mungkin menulis catatan di atas rel. Catatan itu pasti lekas hilang terlindas rodaku sendiri.
Sejak penanaman kepala kerbau oleh Gubernur Jenderal jhr. A.C.D. de Graef pada 8 Oktober 1929, sebagai tanda peresmian Stasiun Beos, hanya hamparan batu yang setia menemani sejarah panjang rel kereta. Bantalan kayu jati yang menjadi tilam tidurnya, tak bisa bertahan didera perjalanan waktu. Tubuh mereka yang rapuh kemudian digantikan bantalan beton.
Sebentar lagi nasibku akan serupa bantalan kayu jati. Rangkaian kereta yang lebih mulus mulai berdatangan entah dari negeri mana. Semoga ada yang sudi mencatatnya, bahwa pernah ada rangkaian kereta BN-Holec menyusuri jalur Jakarta-Bogor. Mungkin hanya sebatas itu. Sebab kalian tidak mungkin mencatat bagian perkosaan dan penganiayaan tubuhku.
Perjalanan waktu selalu membawa perubahan. Batavia berubah menjadi Jayakarta kemudian Jakarta. Bogor ternyata dulu bernama Buitenzorg. Ah, bagaimana aku melafalkannya. Semua berubah tapi hanya satu yang tidak berubah, negeri ini tidak pernah bisa dewasa. Mungkin kata itu terdengar sinis, tapi aku merasakannya sendiri.
Sepertinya ada tangan-tangan asing yang ingin negeri ini tetap berjalan dalam kegelapan. Sebab dalam kegelapan orang-orang yang tidak bertanggungjawab bisa leluasa melakukan banyak hal. Sebagaimana lampu-lampu kereta yang dibiarkan gelap hingga orang-orang tergagap. Sebagaimana besi pegangan yang hilang hingga pijakan kalian kadang limbung. Sebagaimana pintu-pintu yang sengaja diganjal hingga orang lain tidak bisa masuk dalam tubuhku. Sebagaimana kabel sinyal yang dicuri hingga rangkaian tubuhku termangu ketika hendak menetapkan laju.
Padahal kalian hanya perlu menjaga. Ya, hanya menjaga. Menjaga apa yang telah ada sejak pencangkulan pertama pembangunan rel kereta api di desa Kemijen oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J. Baron Sloet van den Beele pada 17 Juni 1864. Itulah pembangunan jalur kereta pertama sepanjang 26 kilometer. Proyek yang diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) pimpinan Ir. J.P de Bordes. Sejak saat itu, jalur kereta terus bertambah panjangnya.
Tapi mengapa di masa pembangunan, jalur-jalur kereta justru semakin berkurang dan berkurang. Apakah ada yang telah mencurinya? Dan aku, entah generasi keberapa sejak berderaknya Si Bon-Bon, lokomotif listrik pertama buatan Werkspoor Belanda pada tahun 1920. Harusnya aku mengecap manisnya hasil perjuangan bangsa ini. Tapi mengapa aku tetap saja diperkosa dan dianiaya?
Memang pembangunan rel kereta api waktu itu harus ditebus dengan tumpah darah dan cucuran airmata anak-anak bangsa. Tapi jika aku terus diperkosa, jika rel terus dicuri, berarti kalian meneruskan tradisi berdarah itu. Tak ada gunanya bangsa ini merdeka, jika tidak bisa merawat apa yang ada.
Mungkin ini hanya cericau tak karuan dari sosok renta yang terseok membawa sarat beban. Kegelisahan yang mungkin tidak akan kalian dengar. Keresahan yang akan menjadi senandung duka tidak hanya sepanjang Batavia – Buitenzorg. Tapi sepertinya aku tidak bisa berharap banyak, sebab masih saja ada yang mencaci maki keterlambatanku. Kelambanan sosok tua yang masih terus dipaksa untuk bekerja.
Semoga di masa pensiunku nanti aku bisa menikmati ketenangan senja, menyusul karibku yang sekarang menyusuri jalur di sekitar candi Prambanan. Ah, betapa indahnya merasakan sepoi-sepoi angin pengunungan.
Aku tidak ingin senasib dengan teman-temanku yang di masa pensiun justru tak bisa tenang karena beberapa bagian tubuhnya dimutilasi, kemudian dicangkokkan pada kereta lain agar bisa tetap bekerja dan bekerja.
Namun tidak ada satupun keluh kesah, kemarahan apalagi sumpah serapah. Teman-temanku merasa bangga karena di masa pensiun, mereka masih bisa berguna. Mereka justru berdoa, "Ya, Tuhan lapangkanlah jalan anak-anakku."
Mendengar semua itu, tiba-tiba aku merasa tak lebih baik darimu. Perjalanan waktu juga tidak bisa mendewasakanku. Aku hanya sosok dengan segala keluh dan selalu menyalahkan keadaan. Sepertinya hanya perpisahan yang akan mendewasakan kita. Mungkin kita harus sama-sama menghargai makna kehilangan.
Suatu saat tubuhku pasti tak akan mampu lagi membawa kalian menyusuri jalur Batavia – Buitenzorg. Memang ada kereta-kereta yang lebih muda yang akan menggantikan tubuhku. Tapi kalian harus menebusnya dengan harga mahal. Pada saat itu kalian akan merindukan dan menyadari betapa pentingnya keberadaanku.
Sebagaimana aku tiba-tiba merasa begitu rindu dengan saudara-saudaraku. Hari ini, aku ingin menziarahi mereka, menaburi onggokan tubuh mereka dengan batu-batu. Ya, batu-batu, sebab di kanan kiri jalur Batavia – Buitenzorg ini tak pernah kutemukan bunga-bunga.
Depok-Gondangdia, 31 Desember 2007
Oleh: Setiyo Bardono
Penulis merupakan TRAINer (Penumpang Kereta Listrik) jurusan Depok – Gondangdia, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel terbarunya: Koin Cinta (Diva Press, 2013).
Penulis bisa dihubungi di email: setiakata@yahoo.com. Cerpen ini didedikasikan untuk menyambut Hari Kereta Api pada 28 September.
(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news@okezone.com)
(//ful)
Berita Selengkapnya Klik di Sini