(Foto: Nina Suartika/Okezone) JAKARTA - Malam-malam di Pasar Enjo adalah malam penuh warna. Pasar pisang di kawasan Pisangan, Jatinegara, Jakarta Timur, ini seperti tak pernah tidur.
Jumat malam di penghujung tahun itu misalnya. Hingga pukul 23.00 WIB kawasan itu masih ramai dengan pedagang dan pembeli. Jalan sempit karena terdesak proyek pembangunan jalur busway tidak menyurutkan para pedagang mengais rezeki.
Dibatasi rel kereta api, berdiri panggung berukuran sekira 2x3 meter. Backdrop dan cahaya lampu ala kadarnya serta sejumlah gamelan yang berjejer dengan asal menandakan panggung siap menyuguhkan pertunjukan."Ini untuk pertunjukan tari jaipong," kata seorang warga yang tak mau disebutkan namanya.
Menurut lelaki paruh baya ini, setiap malam mulai pukul 23.00 WIB, para penari Sanggar Sekar Munggaran menggelar pertunjukan tari jaipong. Dengan kostum penari Sunda, mereka menarik minat para lelaki untuk menari bersama. "Mereka nari buat nyambung hidup," katanya.
Sanggar Sekar Munggaran
Suasana siang di rumah kontrakan berukuran 2,5 kali 7 meter persegi yang berada di lantai dua, tampak beda. Di pagi hingga siang hari, wanita dan laki-laki yang berasal dari daerah Karawang, Cikampek dan Cikarang ini melakukan aktivitas rumah tangga, mulai dari mencuci hingga menyetrika baju.
Akan tetapi, sebagian besar dari mereka mempercayakannya kepada buruh cuci yang ada di sekitar rumah itu, tidak besar bayarannya cukup Rp 300 ribu per bulan mereka menyetor uang untuk buruh cuci. Untuk urusan perut, mereka tinggal membelinya di warung sekitar atau menanti pedagang makanan yang mampir.
Sementara untuk kebutuhan sandang, ada tukang kredit pakaian yang biasa datang.Cicilannya pun tergolong murah. Seperti pakaian dalam, besar cicilannya Rp2.000 yang dibayarkan seminggu sekali hingga lunas.
Namun, aktivitas yang paling mencolok di tempat ini saat siang hari adalah tidur.Menurut mereka, siang hari adalah kesempatan untuk melepas. Karena setiap malam, waktu mereka tersita untuk manggung, yang kadang-kadang berlangsung hingga subuh menjelang.
Tempat kost, begitu mereka menyebutnya. Rumah yang berada di atas sebuah agen barang bekas itu memiliki luas yang dibilang tidak layak untuk dihuni oleh lebih dari 13 orang. Di dalamnya, tidak ada barang-barang yang istimewa selain sebuah televisi berukuan 14 inci. Untuk tidur pun, mereka hanya beralaskan kasur tipis, meski kebanyakan dari mereka menggunakan tikar sebagian alas.
Jika di lihat dari pintu masuk, ruangan itu tampak begitu sesak. Lemari di letakan tidak karuan dan pakaian tergantung tepat di atas kepala mereka.Namun meski demikian, mereka tak mengeluhkan kondisi ini.
Untuk urusanmembayar uang sewa kontrakan, mereka mempercayakannya kepada pemimpin sanggar. Hal ini bertujuan untuk meringankan beban para penari. Karena pendapatan mereka tidak menentu setiap malamnya, meskipun tidak juga lebih dari ratusan ribu. Apalagi sebagian penghuninya telah berkeluarga. Mereka harus menyisihkan pendapatannya untuk keperluan keluarga.
Suasana di tempat kos ini mulai tampak lengang saat hari libur tiba. Setiap seminggu sekali, yaitu setiap hari Kamis, penghuni kosdiberikan jatah libur sehari. Karena setiap malam Jumat pertunjukan ditiadakan, alasannya untuk menghormati penduduk sekitar yang kebanyakan beragama muslim.
Sementara untuk urusan pulang di hari kerja, hanya diijinkan jika ada kepentingan yang benar-benar mendesak. Maka tidak heran, waktu libur yang mereka dapatkan sehari selama seminggu ini mereka manfaatkan untuk pulang kampung.
Salah satunya Bontot, penari dari Sanggar Sekar Munggaran. Ibu muda berusia 25 tahun ini selalu memanfaatkan kesempatan berliburnya untuk pulang kampung. Dia ingin menjenguk anaknya semata wayang yang kini tinggal bersama sang nenek. Ditemani rekannya Nur Vitasari, Bontot akan pulang ke rumahnya di kawasan Karawarang, Bekasi, Jawa Barat. Waktu tempuhnya lumayan lama, 3 jam dengan menggunakan kendaraan umum.
Menurut Bontot, saat-saat seperti inilah yang dirindukannya, bertemu dengan anaknya semata wayang yang kini tinggal bersama sang nenek. Ia pun punya kesempatan menginap hanya semalam saja. Karena esok hari ia harus kembali ke Jakarta untuk manggung. "Biasanya kalau pas pulang saya selalu beliin mainan buat anak saya, sekalian beliin makanan buat ibu," katanya.
Saat ditanya berapa hasil yang diperoleh dari menari, Bontot enggan menjawab. Hanya senyuman saja yang diberikan."Ngga banyak tapi cukup buat memenuhi kehidupan saya dan anak di kampung," katanya sambil tersenyum.
Kembali ke Jakarta, selepas magrib para penari ini sudah bersiap-siap menghibur para penonton. Agar banyak orang yang tertarik, mereka harus berdandan secantik mungkin. Dengan bedak yang harganya tidak begitu mahal serta gincu, mereka mendandani wajah mereka sendiri. Mereka pun bisa menghabiskan waktu 2 hingga 3 jam lamanya.
Menurut Nur, setiap penari harus memiliki keterampilan berdandan. Karena tidak ada penata rias yang mendandani wajah mereka. "Sebelum datang ke sini, kebanyakan dari kita sudah punya ketrampilan berdandan sudah kami pelajari sendiri di kampung halaman," kata dara berusia 20 tahun ini.
Sekira pukul 21.00 WIB, barulah mereka menuju panggung tempat pertunjukan digelar. Lokasinya tak jauh dari rumah kontrakan, berjarak sekitar 50 meter. Saat mereka menaiki panggung, terjadi sebuah pemandangan yang sungguh bertolak belakang. Pasalnya, kondisi di atas panggung yang terkesan seadanya, dipadati para penari dan pesinden yang berpenampilan wah.
Ya dengan cara beginilah, Sanggar Sekar Munggaran yang terdiri dari sedikitnya 13 sinden dan penari jaipong, serta 4 orang pemain musik, mencari rejeki. Sungguh mempihatinkan. Sebuah kesenian tradisional, terpaksa dipertontonkan dengan teramat sederhana.
Apalagi, tidak jauh dari tempat Sanggar Sekar Munggaran menggelar pertunjukan, ada tempat pertunjukan serupa yang digelar. Namun bedanya, di tempat pertunjukan itu, sang penari tidak menggunakan kostum penari Sunda melainkan menggunakan pakaian seksi. Dengan menampilkan para penari muda, mereka bersaing untuk menarik para lelaki untuk memberikan uang.
Meski demikian, Sanggar Sekar Munggaran tetap menampilkan pertunjukan tari Sunda dengan kostum yang menggambarkan asli Sunda. Karena dengan cara seperti ini, kesenian tari jaipong tetap bertahan lebih dari 15 tahun.
Suara memekakkan telinga berasal dari sound system, mengawali pertunjukan malam itu. Tak begitu jelas irama musik apa yang tengah dimainkan. Yang pasti mereka tengah memainkan salah satu alunan musik daerah Sunda.Dua orang penari, terlihat tengah bergoyang mengikuti irama musik.
Suara musik di panggung, terkadang tenggelam oleh deru kereta api listrik yang tengah melintas tepat di belakang panggung. Bagi yang tak biasa, pertunjukan dengan tata suara ala kadarnya itu, sungguh mengganggu. Tak bisa dinikmati.Namun bagi penggemar fanatik mereka, tak peduli dengan semua itu.
Totok, penikmat tari Sanggar Sekar Munggaran mengaku hampir setiap malam datang ke acara itu."Saya sangat suka dengan tarian ini. Lagian juga jarang-jarang ada pertunjukan seperti ini di Jakarta," katanya.
Sementara penonton lain, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengaku sering datang. Meski hanya iseng, dia kerap memberikan saweran pada penari-penari itu."Penarinya cantik-cantik, jadi ngga rugi kalau kita kasih saweran," katanya.
Melestarikan Kesenian yang Hilang
Pemimpin Sanggar Sekar Munggaran, Anton Djaelani mengatakan, Sanggar Sekar Munggaran merupakan sebuah komunitas kesenian tari Sunda. Sanggar ini dibangun pada tahun 1996 oleh Djaelani, lelaki asal Karawang, Jawa Barat yang merupakan bapak dari Anton.
"Waktu itu bapak saya (Djaelani) bilang kalau dia mau bikin sanggar tari. Awalnya sih banyak yang nolak karena nggak punya biaya, tapi dia tetap nekat. Dia pinjem perlengkapan tari, mulai dari konstum sampe alat musik ke temennya.Terus dia bikin pertunjukan dan akhirnya berhasil," kata lelaki berumur 35 tahun ini.
Anton mengatakan, nama Sekar Mungguaran sendiri memiliki arti bunga yang sedang mekar. Awalnya sanggar ini berada di daerah Rawa Bunga yang letaknya tidak jauh dari sanggarnya sekarang."Tapi karena waktu ada kerusuhan, itu tahun 1998, kemudian kita disuruh pindah ke sini (Pasar Enjo). Dulu di sini juga cuma lesehan aja, belum ada panggung. Tapi akhirnya sanggar kita berhasil sampe bisa bikin panggung, walaupun kecil kaya gini," katanya.
Menurut Anton, tujuan utama didirikannya Sanggar Sekar Munggaran yaitu untuk melestarikan kesenian budaya Sunda. Namun pada perjalanannya, kebanyakan yang bergabung karena lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dibandingkan dengan keseniannya.
"Jadi sekarang kita lebih memilih orang yang bisa langsung menari biar kita tidak perlu ngajarin lagi.Karena kebanyakan dari mereka juga datang ke sini buat nyari uang," kata lelaki beranak satu ini.
Konsep pembagian hasilnya dari menari ini pun Anton serahkan sepenuhnya kepada para penari. Dia mengaku hanya mendapatkan jatah 30 persen dari hasil menari mereka."Uang yang didapat itu biasanya sih mereka bagi-bagi setiap harinya sama sekalian buat beli kebutuhan mereka," katanya.
Anton berharap, suatu saat sanggarnya ini berkembang dengan pesat. Karena saat ini, menurutnya, kondisi sanggar sangat memprihatinkan. Padahal sanggar ini sendiri dibentuk karena rasa kecewa sanga bapak akan kesenian budaya Sunda yang hilang.
"Saya berharap sanggar ini bisa maju dan berharap juga agar kesenian tradisional Sunda bisa berkembang. Karena ini adalah kekayaan kita. Kalau bukan kita sendiri yang mengembangkannya siapa lagi," katanya.
(ful)
Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda. This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.