Suasana ospek. (Foto: Marieska HV/Okezone) JAKARTA - Institusi pendidikan sejatinya menjadi tempat suaka dan penuh perlindungan bagi civitas akademika, khususnya peserta didik. Di sekolah dan kampus, seharusnya kita dapat belajar tentang banyak hal tanpa harus merasa ketakutan dan terancam.
Nyatanya, institusi pendidikan tidak seaman itu. Banyak kekerasan terjadi di lingkup kampus dan sekolah; sebagian mengusung misi "mendisiplinkan" seperti yang terjadi dalam berbagai ospek.
Di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2014 ini, Kampus Okezone merangkum tujuh skandal besar yang mencoreng wajah pendidikan nasional.
5. Ospek Penuh Kekerasan
Selama beberapa tahun belakangan, IPDN mulai menanggalkan predikat sebagai kampus dengan tradisi ospek penuh kekerasan. Namun, akhir April lalu, nama Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) kembali disangkutpautkan dengan kekerasan dalam ospek.
Mata dua mahasiswa (praja) putri IPDN diduga terkena cairan asam. Hal ini dikuatkan dengan hasil pemeriksaan RS Mata Cicendo, Bandung, yang menyatakan bahwa dua epitel kornea (bagian terluar kornea mata) praja putri IPDN mengelupas. Sedangkan tiga praja lainnya hanya mengalami iritasi biasa.
Sementara itu, pihak IPDN menampik dugaan kelima praja putri tersebut merupakan korban kekerasan seniornya. Kabiro Kemahasiswaan IPDN, Benhard Rondonuwu, pada Minggu 27 April memang ada sejumlah praja putri tingkat II yang dibawa ke rumah sakit, namun bukan diakibatkan penganiayaan atau tersiram cairan kimia. Mereka hanya kecipratan dari lumpur saat hujan deras mengguyur kampus pada Minggu sore.
Namun, dari informasi yang dihimpun wartawan, beberapa hari sebelumnya terjadi keributan antara praja putri tingkat III dan praja tingkat II yang berujung pada penganiayaan. Mata beberapa praja terkena cipratan cairan berbahaya.
Di Ibu Kota, keluarga Dimas Dikita Handoko (19) berduka karena mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta Utara, itu tewas di tangan para seniornya. Pada 25 April lalu, dengan dalih ingin bicara, sejumlah mahasiswa senior di STIP memanggil Dimas dan beberapa kawannya ke sebuah rumah kos.
Setelah diceramahi tentang pentingnya kekompakan dan menghormati senior, Dimas dkk dibawa ke sebuah ruangan. Di sini mereka ditampar serta dipukuli di perut, dada dan ulu hati. Melihat Dimas tersungkur lemas, pelaku tidak menghentikan aksinya. Setelah menyadari Dimas tidak bergerak, mereka baru panik dan berusaha menolong Dimas.
Kekerasan berujung kematian saat ospek juga terjadi di Malang, tepatnya di Institut Teknologi Nasional (ITN). Fikri Dolasmantya Surya, diduga tewas saat mengikuti Ospek Kampus pada 12 Oktober 2013. Ketika itu, mahasiswa jurusan Planologi tersebut berparisipasi dalam Orientasi Kemah Bakti Desa (KBD) dan Temu Akrab di kawasan Pantai Goa China di Desa Sitiarjo, Sumbermanjing Wetan (Sumawe).
Pihak kampus pun mengakui telah terjadi tindakan di luar batas hingga mengakibatkan Fikri tewas. Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan ITN, I Wayan Mundra, mengatakan, pihaknya telah menyelseaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan keluarga almarhum.
Ospek penuh kekerasan masih saja terjadi, padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melarangnya. "Budaya kekerasan harus dihilangkan! Pastikan masa orientasi tidak memuat unsur kekerasan. Selain Kemendikbud, sekolah-sekolah juga harus melakukan pembenahan," ujar Presiden, Selasa, 31 Juli 2012.
6. Bullying di SMA
Di kampus, kita mengenal ospek dengan kekerasan. Di tingkat yang lebih bawah, yakni SMA, ada fenomena bullying.
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah "budaya" bullying di SMA Don Bosco, Jakarta. Bukan hanya berbentuk ancaman verbal, pelaku bullying juga tidak segan-segan menggunakan senjata tajam untuk menakuti korbannya.
Salah seorang siswa korban bullying kakak kelas di SMA Don Bosco, Ary, mengaku dicekoki miras dan narkoba. Karena menolak, leher Ary kemudian disundut rokok. Ary juga disiksa selama tiga jam, dan dipaksa berbohong kepada orangtuanya dengan mengatakan sedang makan di daerah Pondok Indah.
Puas menganiaya, pelaku masih mengancam Ary. "Sebelum balik., kita sudah diancam, 'Jangan laporin ke guru. Awas!' Sembari membawa pisau lipat buat nakut-nakutin," kata Ary.
Menurut psikolog remaja, Tika Bisono, kasus bullying ini terjadi karena pembiaran sekolah. Pasalnya, ini bukanlah kali pertama siswa senior menganiaya adik kelasnya.
"Manajemen sekolah seharusnya terlibat dalam hal ini karena kalau bullying terjadi di sekolah secara terus-menerus ini sudah tidak wajar," ujarnya.
Meski demikian, kasus penganiayaan yang menimpa Ary berakhir damai. Ary dan pelaku bullying melakukan mediasi yang diperantarai oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).
Keduanya pun sepakat menyetujui ikrar perdamaian dan menganggap kasus bullying ini ditutup. Pihak yang terlibat ini juga akan membantu keluarga korban untuk mencabut laporannya di Polres Jakarta Selatan dan berharap kasus ini di Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3). (bersambung) (rfa)
Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda. This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.