Ilustrasi. (Foto: Reuters) JAKARTA - Serangan dari pasokan pemberontak yang ingin menduduki kota-kota besar di Irak, membuat keadaan semakin tidak terkendali. Akibatnya, beberapa kilang minyak terpaksa berhenti beroperasi.
Ekonom Oxford Economic, Adam Slater, memperkirakan seberapa besar dampaknya jika produksi minyak Irak yang untuk turun setengahnya. Adapun tingkat paling rendah, terjadi ketika perang di Teluk pada 2003, yang memangkas produksi minyak Irak mencapai 1,8 juta barel per hari.
Secara teori, penurunan ini setidaknya dapat diimbangi oleh peningkatan produksi di tempat lain, terutama dari Saudi Saudi. Tapi, kapasitas cadangan Arab Saudi sebesar 2 juta barel per hari (bph). Selain itu, kemampuannya untuk meningkatkan produksi dari 9,5-9,7 juta bph menjadi 11 juta bph belum dapat teruji.
"Kami telah menjalankan skenario di Oxford Economics global dengan model ekonomi untuk mendapatkan beberapa kemungkinan risiko terhadap harga minyak dunia yang lebih luas, dan dampaknya pada ekonomi dan keuangan global," jelas dia dalam risetnya, Minggu (22/6/2014).
"Skenario kami mengasumsikan bahwa perpanjangan arah selatan dari serangan ISIS, menyebabkan gangguan serius terhadap produksi minyak Irak, yang jatuh sekitar 50 persen dan kembali ke lifting 2003 dari Q2 2014," tambah dia.
Namun, dia melihat meningkatnya produksi minyak dari Arab Saudi secara bertahap, telah mengimbangi penurunan selama periode ini. Meski demikian, hal ini tetap dapat mencegah kenaikan harga yang tajam, terutama karena premi risiko yang besar pada harga minyak dunia.
"Harga minyak dunia naik di atas USD140 per barel pada Q4 2014, dan baru akan turun dari USD104 per barek pada akhir 2016, karena suplai dan demand yang menyesuaikan dan premi risiko yang secara bertahap memudar," jelas dia.
(mrt)
Download dan nikmati kemudahan mendapatkan berita melalui Okezone Apps di Android Anda.