Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (6/6/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)
Liputan6.com, Jakarta - Anas Urbaningrum kembali duduk di kursi pesakitan. Sidang keduanya sebagai terdakwa kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji dalam proses perencanaan Hambalang atau proyek-proyek lainnya dan pencucian uang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Jumat 6 Juni 2014. Sidang mengagendakan eksepsi atau nota keberatan dari Anas.
Nota keberatan itu ditulis tangan oleh Anas dengan menggunakan tinta berwarna biru dalam 30 halaman dan dibacakan dengan berdiri selama sekitar 1 jam di hadapan majelis hakim yang dipimpin Haswandi dan disaksikan sejumlah pendukungnya dari Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).
Bukan tanpa alasan warna biru dipilih sebagai tinta tulis dalam 30 halaman nota keberatannya. Anas mengaku, biru adalah warna kesukaannya. Dan kebetulan, biru adalah warna khas Partai Demokrat. "Karena warna biru, saya suka warna biru. Kalau difotokopi kan warnanya jadi item," kata Anas.
Menurutnya, surat eksepsi tersebut ditulisnya hanya dalam 1 hari meski hanya bermodalkan pulpen. Ini lantaran di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak diperbolehkan menggunakan mesin tik. "Kalau tulisan tangan lebih otentik dan lebih resmi. Baru selesai dini hari," ucap Anas.
Dalam eksepsinya itu, Anas menyampaikan beberapa hal. Salah satunya, dia menyatakan bahwa isi dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dilayangkan kepada dirinya seperti ditulis oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Anas yang pernah menjadi Ketua Umum Demokrat mengatakan, apa yang disampaikan jaksa itu persis dengan `nyanyian` Nazaruddin. Misalnya soal dakwaan JPU yang menyebut Anas menerima uang miliaran rupiah serta mobil. Kata Anas, hal itu tidak benar.
"Surat dakwaan telah disusun sebaik-baiknya, namun dengan segala hormat, ini bukan dakwaan JPU namun dakwaan dari Nazaruddin baik TPK maupun TPPU," ujar Anas di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Jumat 6 Juni 2014. "Lebih terasa sebagai dakwaan dari Nazaruddin, baik dakwaan tindak pidana korupsi maupun Tindak Pidana Pencucian Uang."
Mantan Komisioner KPU ini juga menilai JPU dalam menyusun dakwaan seperti penjahit yang handal dalam menciptakan hasil jahitan yang menarik, tapi isinya banyak yang tak sesuai. "Tapi bahannya yang asli hanya sebagian saja dan tidak nyaman untuk digunakan," ujar Anas.
Anas juga menyebut surat dakwaan yang disusun jaksa itu hanya berdasarkan kesaksian satu orang yang diduga kuat merujuk pada Nazaruddin yang menurut dia jelas tidak kredibel. "Lebih terasa sebagai dakwaan dari Nazaruddin baik dakwaan tindak pidana korupsi maupun Tindak Pidana Pencucian Uang," kata Anas seraya menambahkan, "Tentu bisa dinilai peran Nazaruddin dalam pemersangkaaan saya sebagai tersangka TPPU dalam dakwaan kedua dan ketiga."
Selain itu, Anas juga membantah dakwaan jaksa yang menyebutkan menerima Rp 2 miliar dari PT Adhi Karya selaku pemenang tender pembangunan pusat olahraga Hambalang. "Saya tidak pernah menerima uang dari Adhi Karya, tidak pernah meminta kepada Adhi Karya dalam rangka pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat dan kepentingan lain," ujar Anas.
Mantan Ketum PB HMI Itu juga membantah dakwaan yang menyebutnya menerima uang senilai Rp 84 juta dan US$ 36 ribu dari Permai Grup lewat M Nazaruddin untuk kepentingan pencalonan ketua Umum Partai Demokrat.
"Jika Permai Grup adalah kantung dana saya, maka tidak ada yang salah dengan seseorang yang mengambil dana dari kantungnya sendiri. Ada kontraksi yang tidak sesuai dengan dakwaan ini," tambah Anas.
Metode Otak-atik Gathuk
Lebih lanjut, Anas menilai, dakwaan yang dibuat JPU KPK sangat spekulatif. Mengingat dalam dakwaan tersebut Anas disebutkan terlibat tindak pidana pencucian uang (TPPU). "Dakwaan ini memakai metode `Otak-Atik Gathuk`," kata Anas saat membacakan eksepsinya di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Jumat (6/6/2014).
Anas menjelaskan, dakwaan TPPU yang ditujukan kepadanya hanya dikait-kaitkan dengan aset yang dimilikinya. Seluruh aset yang telah disita oleh KPK sampai saat ini, kata Anas, bukan diperolehnya dari pencucian uang. "Saya beli dari penghasilan yang halal dan saya beli setelah saya berhenti dari anggota DPR. Dan tidak terkait ada hubungannya dengan M. Nazaruddin," tegas Anas.
Anas juga mempertanyakan penyegelan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset berupa tanah sekitar 8.400 meter milik mertuanya yaitu Attabik Ali di Yogyakarta. "Bagaimana bisa aset-aset milik mertua saya untuk pengembangan pesantren yang dengan kemampuan sendiri didakwakan sebagai milik saya? Dalam kasus ini aset-aset yang dibeli dengan kemampuan sendiri malah dicurigai, disita, dan kemudian didakwa sebagai bagian dari TPPU," jelas Anas. Selain itu, Anas juga menyebut dakwaan jaksa KPK imajiner.
Menanggapi hal itu, juru bicara KPK Johan Budi meminta Anas untuk tetap menghormati proses hukum. KPK menetapkan tersangka dan menahan Anas berdasarkan alat bukti.
"KPK ketika membawa suatu perkara ke pengadilan artinya bukti-bukti yang dipunyai bukan hanya 2 alat bukti permulaan yang cukup, tapi bukti-bukti lain yang juga cukup," kata Johan Budi di Jakarta, Jumat 6 Juni.
Dia menjelaskan, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang akan memutuskan apakah dakwaan JPU terhadap Anas Urbaningrum imajiner atau tidak. "Di pengadilan, terdakwa juga dapat menyampaikan bantahan terhadap sangkaan-sangkaan yang disampaikan KPK. Biar hakim yang memutuskan," papar Johan.
Dakwaan Jaksa untuk Anas
Dalam persidangan perdana 30 Mei 2014, Anas didakwa menerima hadiah berupa 2 unit mobil. Tak cuma itu, Anas juga didakwa menerima sejumlah uang sebagai imbalan mengurus proyek Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora). Selain itu, dia pun didakwa menerima imbalan dari sejumlah proyek di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan proyek-proyek lain yang didapat dari Grup Permai.
Imbalan yang didapatkan Anas, yakni 1 unit mobil Toyota Harrier bernomor polisi B 15 AUD senilai Rp 670 juta, 1 unit Toyota Velfire B 69 AUD senilai Rp 735 juta. Kemudian kegiatan survei pemenangan terdakwa senilai Rp 478.632.230, uang Rp 116.525.000.650, dan US$ 5.261.070.
"Padahal patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yaitu terdakwa selaku anggota DPR RI," tutur Yudi 30 Mei lalu.
Jaksa melanjutkan, selaku anggota DPR, Anas mengetahui pemberian hadiah atau janji tersebut untuk mengupayakan pengurusan proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat yang merupakan proyek dari Kemenpora. Serta sejumlah proyek di perguruan tinggi Direktorat Jenderal Kemendiknas, dan proyek-proyek lain yang dibiayai APBN yang didapatkan Permai grup yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dalam kasus penerimaan gratifikasi proyek Hambalang dan proyek-proyek lain ini, Anas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mengacu pada pasal tersebut, Anas Urbaningrum terancam hukuman maksimal 20 tahun kurungan penjara.
Terkait kasus dugaan pencucian uang, Anas disangka melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan atau Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang TPPU juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (Ans)
(Rizki Gunawan)