
Konflik di Suriah selama dua tahun telah menelan korban jiwa hingga 80 ribu orang.
Menteri Luar Negeri Uni Eropa sepakat untuk untuk tidak melanjutkan kebijakan embargo senjata mereka kepada kelompok oposisi Suriah.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton mengatakan kepada wartawan meski demikian belum ada keputusan secara cepat kapan pengiriman senjata untuk kelompok pemberontak dilakukan selain itu semua sanksi lain di luar pengiriman senjata masih tetap diberlakukan kepada pemerintah Suriah dan pemberontak.
Keputusan pencabutan embargo pengiriman senjata kepada pemberontak ini dilakukan setelah melewati sebuah pembicaraan panjang di Brussels.
Sejumlah menlu dalam pembicaraan itu juga dilaporkan memiliki sikap terbelah antara yang setuju embargo dicabut dan tidak.
Pembicaraan soal Suriah dilakukan oleh Uni Eropa karena periode pemberian sanki kepada pemerintahan Bashar al-Assad akan berakhir pada hari Sabtu (01/06) mendatang.
Pemerintah Inggris dan Prancis adalah pihak yang paling keras berupaya membolehkan pengiriman senjata kepada kelompok yang mereka sebut sebagai lawan moderat dari Presiden Assad.
Kebijakan pengiriman senjata kepada lawan Assad menurut mereka akan mampu mendorong Damaskus duduk di meja perundingan dan mencari solusi politik untuk mengakhiri konflik yang berlangsung selama dua tahun.
Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague menyambut baik hasil pembicaraan di Brussels dan mengatakan "penting bagi Eropa untuk mengirimkan tanda yang jelas kepada rezim Assad bahwa persoalan Suriah harus dibicarakan secara serius dan semua opsi tersedia di atas meja perundingan jika mereka nanti menolak."
Namun tidak semua negara anggota Uni Eropa sepakat memilih opsi pembukaan embargo senjata bagi kelompok pemberontak.
"Uni Eropa harus menjaga batas. Kita adalah gerakan pengusung perdamaian dan bukan pengusung aksi untuk perang"
Austria merupakan negara kunci yang menentang upaya pengiriman senjata kepada kelompok pemberontak dan mengatakan kebijakan itu hanya akan memperburuk kekerasan di negara itu dan telah menelan korban jiwa hingga 80 ribu orang.
"Uni Eropa harus menjaga batas. Kita adalah gerakan pengusung perdamaian dan bukan pengusung aksi untuk perang," kata Menlu Austria, Michael Spindelegger.
Embargo Uni Eropa terhadap Suriah pertama kali diterapkan pada bulan Mei 2011 lalu dan itu berlaku tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga kepada kelompok pemberontak.
Namun pada bulan Februari lalu, menlu yang tergabung dalam organisasi kawasan itu setuju untuk membolehkan negara UE memberikan bantuan peralatan militer yang tidak mematikan kepada kelompok pemberontak untuk melindungi warga sipil.
Badan bantuan Inggris, Oxfam telah memperingatkan 'adanya konsekuensi yang buruk' jika embargo diakhiri dan ada banyak senjata yang dikirim ke Suriah.